Akhirnya
Perancis melakukan serangan ke Mali. Menurut The Guardian (14/01),
dengan invasi ini berarti Barat telah menyerang delapan negeri muslim.
Negara Afrika barat berpenduduk 15 juta orang ini adalah negara
kedelapan yang rakyatnya dibom dan dibunuh oleh kekuatan Barat setelah
Irak , Afghanistan, Pakistan, Yaman, Libya, Somalia, dan Filipina.
Belum termasuk berapa banyak tiran yang didukung oleh negara Barat di
kawasan itu.
Invasi ini semakin mengokohkan perang kolonial Barat
terhadap dunia Islam.
Invasi ini sekali lagi membuktikan Dewan
Keamanan PBB sekedar menjadi alat politik negara-negara Barat. Dewan
Keamanan PBB Dewan Keamanan PBB pada Kamis (20/12/2012) dengan suara
bulat telah menyetujui rencana intervensi militer di Mali dengan dalih
yang menyesatkan yaitu “menyatukan kembali negara Afrika Utara yang
berperang.”
Negara-negara Afrika Barat ingin mengirim pasukan
berkekuatan 3.300 personil untuk mengusir kelompok-kelompok bersenjata
yang memasuki wilayah gurun yang luas dan menerapkan hukum Islam setelah
terjadinya kudeta militer di Bamako Maret yang menciptakan kekosongan
kekuasaan di negara itu.
Rencana untuk intervensi militer,
awalnya disepakati oleh Masyarakat Ekonomi Negara Afrika Barat (ECOWAS)
dan tidak akan melibatkan intervensi langsung pasukan Barat. Resolusi
diperkenalkan oleh Perancis – yang sebelumnya menjajah Mali – hingga
disetujui oleh 15 anggota DK.
Namun Perancis mengambil inisiatif
menyerang Mali tanpa legitimasi PBB. Sekjen PBB mengeluarkan dukungan
justru setelah Perancis menyerang. Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB)
setuju dengan intervensi militer Prancis di Mali. Sekjen PBB, Ban
Ki-moon, mengatakan aksi tersebut mendapat dukungan internasional dalam
pernyataannya di Markas PBB, Senin (14/1), dan dilansir Reuters, Selasa
(15/1).
Dalam membenarkan serangan militer ini, Perancis, Inggris
dan negara Barat lainnya sekali lagi menggunakan label memerangi
‘terorisme’ dan melindungi rakyat Mali. Untuk mendapatkan simpati dari
masyarakat Barat, media telah menekankan aspek ‘Islamis’ dari oposisi
yang ingin menegakkan syariah Islam.
Mencegah Berdirinya Negara Islam?
Ada
kemungkinan beberapa motif kenapa Perancis menyerang Mali. Pertama
adalah kekhawatiran Mali menjadi sebuah negara Islam. Satu hal yang
sangat ditakuti Barat selama ini adalah berdirinya negara Islam terutama
Daulah Khilafah Islam yang menerapkan syariat Islam dan menolak segala
bentuk intervensi Barat.
Ketika Presiden Amadou Toumani Toure
dilengserkan dari posisinya oleh seorang kader militer pada pertengahan
Maret, Gerakan Nasional Bagi Pembebasan Azawad (MNLA) dan Gerakan
Kesatuan and Jihad di Afrika Barat (MUJWA) menguasai wilayah utara dan
kota-kotanya termasuk Gao dan Timbuktu. Para mujahidin Mali bertekad
untuk meraih kemenangan dan menerapkan syariah Islam.
Nicolas
Sarkozy saat masih menjadi presiden Perancis telah memperingatkan
tentang ancaman ini. Pada pada hari Jumat (13/4) dia menyerukan
pentingnya melakukan segala upaya guna mencegah berdirinya sebuah negara
yang dia sebut sebagai teroris atau Islam di wilayah pantai di Afrika
Utara. Hal ini menyusul dominasi pemberontak Tuareg dan pejuang Islam
di Mali utara. Saat itu dia telah mengingatkan kemungkinan Perancis
melakukan intervensi.
Tampaknya presiden Perancis saat ini
melanjutkan kebijakan dari Sarkozy yang dikenal sangat anti Islam.
Sebutan teroris memang kerap kali dilabelkan oleh Barat untuk siapapun
yang menolak penjajahan Barat dan menginginkan tegaknya syariah Islam.
Terorisme kemudian menjadi label sakti untuk membenarkan apapun tindakan
Barat meskipun melanggar hukum internasional yang mereka buat sendiri.
Warning Terhadap Mujahidin Suriah?
Invasi
Perancis ini juga bisa jadi merupakan warning bagi negeri-negeri Islam
lainnya yang ingin menegakkan negara Islam apalagi Khilafah. Bahwa Barat
akan melakukan intervensi mencegah hal keinginan mulia umat Islam ini.
Gelombang
keinginan mendirikan negara Islam yang menerapkan syariah Islam secara
menyeluruh memang sangat mengkhawatirkan Barat. Terutama melihat
kondidi terkini Suriah sekarang. Semakin menguatnya pasukan mujahidin
dan melemahnya rezim Assad menjadi ketakutan Barat.
Berbeda
dengan Tunisia, Mesir, ataupun Yaman,hingga saat ini Barat belum
mendapatkan penggganti yang legitimed untuk rezim bengis Assad yang
kemudian tetap dibawah control Barat. Tidak hanya itu, para mujahidin
yang dekat dengan masyarakat Suriah dan menjadi ujung tombak perlawanan
terhadap Assad, dengan tegas menolak intervensi Barat, tawaran demokrasi
meskipun dengan istilah negara madani (negara sipil). Para mujahidin
dengan tegas akan menegakkan Khilafah Islam, membebaskan Al Quds dari
penjajah Israel, menyelamatkan muslim Rohingnya dan negeri-negeri Islam
lainnya.
Namun, Barat harus berpikir beribu kali kalau hendak
menyerang Suriah kalau atas izin Allah SWT khilafah akan tegak di sana.
Rakyat Suriah bersama umat Islam dari negeri-negeri Islam lainnya akan
bersatu melakukan jihad melawan intervensi penjajah. Jihad yang
dilakukan dan didukung oleh mayoritas rakyat Suriah, bukan hanya satu
atau dua kelompok.
Menghadapi kelompok-kelompok mujahidin di Irak
dan Afghanistan, saja Barat sudah kesulitan, apalagi menghadapi rakyat
Suriah dalam perang semesta (total) melawan penjajah Barat. Disamping
itu, Amerika dan Eropa akan berpikir keras , mengingat intervensi
militer pastilah membutuhkan dana yang besar. Sementara saat ini kondisi
ekonomi mereka sedang dalam kesulitan.
Persaingan Amerika dan Perancis?
Aroma
persaingan Amerika dan Perancis juga tampak dalam invasi ini sangat
kental. Perancis tampaknya tidak ingin melepaskan Mali dari
cengkramannya setelah selama ini benar-benar mengkontrol negara ini.
Sementara Amerika , mulai berusaha menanamkan pengaruhnya dengan
mendukung kudeta militer terhadap Presiden Amadou Toumani Toure yang
didukung oleh Perancis.
Dalam Soal Jawab tentang kudeta militer
di Mali yang dikeluarkan Hizbut Tahrir (24 Maret 2012 M) dijelaskan
bagaimana Amerika belakangan mulai berkerja memperluas pengaruhnya di
Mali dengan menggelar perjanjian dengan Mali untuk melatih militer Mali
dengan dalih memerangi terorisme.Militer Mali memilih para perwira dan
mengirim mereka ke Amerika untuk mengikuti pelatihan.
Laman al-‘Ashru (24/3/2012)
mengutip dari diplomat Amerika yang meminta tak disebutkan namanya
menyatakan: “pemimpin kudeta Kapten Amadou “Ahmadou“ Haya Sanogo dahulu
dipilih diantara sekelompok perwira oleh kedutaan Amerika untuk mendapat
pelatihan militer untuk memerangi terorisme dan pelatihan itu bertempat
di Amerika Serikat“. Ia menambahkan bahwa “Sanogo beberapa kali pergi
ke Amerika dalam tugas-tugas khusus …“.
Sementara Perancis tidak
mendukung kudeta itu. Prancis membekukan kerjasama politik, militer dan
ekonominya dengan Mali. Begitu juga bantuan-bantuannya kepada Mali.
Sebaliknya Amerika bertindak sebaliknya. Juru bicara kemenlu AS Victoria
Nuland menegaskan negaranya tidak mengambil keputusan membekuan
bantuan-bantuan Amerika ke Mali“ (Aljazeera, 23/4/2012). Bantuan
Amerika ke Mali mencapai 137 juta dolar per tahun.
Hal ini
menunjukkan Amerikalah yang berada di balik kudeta militer yang terjadi
di Mali. Tujuannya untuk menanamkan dan memperluas pengaruhnya di
negeri Islam Mali itu. Negara Paman Sam ini berusaha menggantikan
pengaruh Prancis sebagai penjajah lama Mali. Untuk itu Amerika ingin
menunda pemilu mendatang di Mali sebab lingkungan politik yang ada masih
loyal ke Prancis. Melalui kudeta ini Amerika membalik meja permainan
atas para pemain dari antek-antek Prancis yang sangat memahami permainan
sesuai politik Prancis.
Begitulah Mali menjadi terikat dengan
Amerika,melalui gerakan “militer“. Lingkungan politik lama yang
dibangun Prancis sulit untuk menguasai situasi baru. Paling jauh yang
mungkin terjadi adalah partisipasi yang tidak efektif di pemerintahan
baru di bawah pengaruh Amerika.
Invasi langsung terhadap Mali,
adalah cara Prancis untuk mempertahankan pengaruhnya. Tanpa melalui
persetujuan dewan keamanan PBB, negara ini langsung melakukan invasi.
Setelah serangan, baru DK PBB menggelar pertemuan darurat atas
permintaan Prancis pada Senin (14/1) di New York. Dubes Prancis untuk
PBB Gerard Araud mengatakan pemerintahnya mendapat “dukungan dan
pengertian” dari 14 anggota Dewan Keamanan PBB lain.
Prancis
sebelumnya telah mengirim 550 tentara ke kota Mopti dan Bamako, dan
setelah pekan lalu menurut seorang sumber Kementrian Pertahanan negara
mode itu kepada kantor berita Reuters, jumlah kiriman pasukan
kemungkinan akan bertambah menjadi 2.500 dalam beberapa hari.
Negeri Islam yang Kaya
Mali
adalah negeri islam, lebih dari 90 % penduduknya muslim dan telah masuk
Islam sejak ratusan tahun lalu. Pada akhir abad ke-19 penjajah Prancis
menduduki Mali dan mengumumkan penggabungannya ke Prancis pada tahun
1904. Prancis memberikan kemerdekaan formalistik pada tahun 1960. Mali
adalah negeri yang kaya bahan tambang berupa emas, phospat, kaolin,
bauksit, besi, uranium dan banyak lainnya. Tidak mengherankan kalau
Eropa khususnya Perancis dan Amerika saling berebut kekayaan alam Mali.
Perancis
sendiri sangat membutuhkan Mali, sebagai negara penghasil uranium di
Afrika Barat. Dua pertiga listrik Prancis berasal dari tenaga nuklir,
memerlukan impor uranium yang signifikan dari negara tetangga Niger.
Sebagai produsen emas ketiga terbesar di Afrika Mali juga sangat
menggiurkan.
Begitulah negeri Islam menjadi rampasan penjajah
yang rakut. Semua itu tidak lain karena kaum muslimin terpecah belah,
diperintah dengan selain Islam. Para penguasanya tidak memelihara
urusan-urusan masyarakat, sebaliknya para penguasa kaum Muslimin itu
justru memuluskan kepentingan-kepentingan kaum kafir penjajah. Sekali
lagi disinilah relevansi perjuangan Hizbut Tahrir untuk mewujudkan
kembali Khilafah untuk seluruh dunia Islam, yang menyatukan dan
melindungi negeri Islam dari kebuasan penjajah Barat. (Islampos)
Komentar
Posting Komentar