JAKARTA - Pembahasan RUU Ormas
memasuki tahapan panitia kerja (Panja) DPR. Mendagri Gamawan Fauzi di
kantor Kemendagri, Rabu (20/2) menegaskan, kontrol atau audit terhadap
aliran dana ormas dan LSM asing wajib dilakukan oleh pemerintah. Selama
ini pemerintah juga mengaudit dana partai politik.
Gamawan menilai, kalau parpol harus diaudit dan ormas
tidak, maka negara bisa kehilangan kontrol terhadap kegiatan ormas. Ia
pun menjamin audit itu hanya untuk transparansi. Hingga kini, katanya,
belum ada aturan pidana jika nanti ditemukan aliran dana yang
bermasalah. "Setidaknya kita tahu. Kalau dikirimkan Rp 100 juta (dari
donatur) setiap hari sebanyak lima kali sehari, bagaimana kalau
pencucian uang?" ujarnya.
Yang jelas, Kemendagri sudah mencium indikasi adanya LSM Indonesia
yang menjadi “jongos” pihak asing. Kekhawatiran sejumlah LSM Indonesia
berhaluan Sepilis tersebut tidak mengherankan. Selama ini sudah menjadi
rahasia umum bahwa sejumlah LSM liberal itu menerima kucuran dana
operasional pada induk-induk mereka, yakni sejumlah yayasan asing yang
dimiliki atau berafiliasi dengan pihak Zionis-Yahudi.
Fakta tersebut sudah ditengarai oleh Kementerian Dalam Negeri RI.
Pihak Kemendagri sejak tahun 2012 lalu sudah menegaskan indikasi adanya
peran dan campur tangan negara asing dalam organisasi masyarakat di
Indonesia yang tampak sangat jelas lantaran penuh kepentingan asing.
Oleh sebab itu, Kemendagri tengah fokus menelaah organisasi masyarakat
asing di Indonesia atau organisasi masyarakat lokal yang berafiliasi
dengan negara asing. Di Papua, misalnya, ada ormas atau LSM pengkhianat
bangsa yang memberikan informasi ke luar negeri hanya untuk mendapat
dana.
LSM Liberal Panik
Atas aturan itu, sebanyak 15 organisasi non-pemerintah yang tergabung
dalam Koalisi kebebasan Berserikat (KKB), belum lama ini (15/2/2013)
resmi menolak Rancangan Undang Undang Organisasi Masyarakat (Ormas).
Koalisi ini sebagian besar beranggotakan lembaga swadaya masyarakat
(LSM) berhaluan SEPILIS (sekularisme-pluralisme-liberalisme) seperti
SETARA Institue, Imparsial, The Wahid Institute, Kontras, LBH Jakarta,
Greenpeace dan lain-lain. Mereka menggalang petisi untuk menggagalkan
rencana DPR mengesahkan RUU ini.
“Seharusnya, DPR mengubah RUU Ormas ini menjadi RUU Perkumpulan,”
kata Direktur Eksekutif Imparsial, Poengky Indarti, yang mewakili
koalisi. RUU Perkumpulan, kata Poengky, lebih punya kerangka hukum yang
benar dan positif dalam pengembangan relasi antara sektor negara, swasta
dan masyarakat sipil.
Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) juga menyatakan
penolakannya terhadap RUU Ormas beserta semua isinya. Salah satu isi RUU
Ormas tersebut berkaitan dengan perlunya melakukan audit terhadap
pendanaan LSM yang menerima dana dari Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara (APBN) maupun dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
(APBD), juga dana asing lebih dari Rp 500 juta ke atas.
Peneliti ICW Emerson mengatakan, RUU Ormas merupakan
cara yang dilakukan pemerintah maupun DPR untuk mengembalikan posisi
ormas seperti pada masa Orde Baru. Jika RUU Ormas disahkan, ICW dengan
ormas-ormas lainnya akan mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi.
“Makanya kami berharap menang saat judicial review diberlakukan terhadap
RUU Ormas ini,” katanya.
Ada enam alasan mengapa RUU Ormas harus ditolak. Keenam alasan itu adalah sebagai berikut:
1. Definisi ormas terlalu luas. Pasal 1 RUU Ormas mencakup semua
bentuk organisasi dalam semua kegiatan. Pada draft awalnya, rincian
bidang kegiatan bahkan mencakup aktivitas seni budaya. Ruang lingkup
yang luas ini berpotensi jadi pasal karet.
2. Ada unsur pemaksaan azas Pancasila. Indikasi pemaksaan ini mirip
dengan situasi pada 1987 ketika Menteri Dalam Negeri Supardjo Rustam
membubarkan Pelajar Islam Indonesia (PII) dan Gerakan Pemuda Marhaenis
(GPM) karena dianggap tidak berazaskan Pancasila.
3. Ada pembatasan aktivitas masyarakat sipil. Jika disahkan, UU Ormas
mengharuskan dua atau tiga orang yang berkumpul karena kesamaan hobi,
seni dan olahraga memiliki akta pendirian dari notaris, AD/ART, program
kerja, kepengurusan, nomor pokok wajib pajak (NPWP), dan membuat
pernyataan sanggup melaporkan kegiatan sebelum diakui keberadaannya oleh
negara dalam bentuk surat keterangan terdaftar (SKT).
4. Ada ketentuan pelaporan dana yang terlampau mengikat. Pasal 34
ayat 2 RUU Ormas mengharuskan organisasi yang akan mendapat sumber
pendanaan apa pun melapor atau mendapat persetujuan pemerintah. Dalam
keadaan aparat yang korup, ini menjadi peluang korupsi baru.
5. Banyak larangan multitafsir. Akibatnya, organisasi anti korupsi
yang menyuarakan upaya penindakan terhadap pejabat yang korup bisa
dianggap organisasi yang membahayakan keselamatan negara. Demikian pula
organisasi yang mengkampanyekan mahkamah internasional atas pelanggar
HAM berat bisa saja dianggap berbahaya bagi keutuhan negara.
6. Sanksi amat berat. Organisasi yang dianggap melanggar aturan dalam
RUU Ormas bisa kena sanksi mulai teguran, pembekuan, pembubaran, pidana
kurungan paling lama 5 tahun dan denda Rp 5 miliar. Ancaman sanksi ini
merupakan instrumen rezim otoriter untuk merepresi pertumbuhan
organisasi masyrakat sipil yang berusaha berperan sebagai counter
balance pemerintah. (Voaislam)
Komentar
Posting Komentar