APA
yang sebenarnya terjadi di Mali? Negeri yang terkurung oleh daratan ini
sejak hari Jumat (11/1/2013), dihantam dengan serangan militer oleh
pasukan Prancis yang mengaku mendapatkan mandat dan wewenang dari PBB.
Mali
terletak di Afrika Barat, sebelumnya merupakan jajahan Prancis. Negara
terbesar kedua di Afrika Barat ini berbatasan dengan Aljazair
di sebelah
utara, Niger di timur, Burkina Faso dan Pantai Gading di selatan,
Guinea di barat daya, serta Mauritania di barat. Perbatasannya di
sebelah utara memanjang ke tengah gurun Sahara. Mayoritas penduduknya
tinggal di wilayah selatan, di mana terdapat Sungai Niger dan Senegal.
Negara yang dahulunya bernama Sudan Prancis ini mengambil namanya dari
Kekaisaran Mali.
Pada 20 Desember 2012, untuk membantu Mali
merebut kembali wilayah utara negeri itu yang kini dikuasai kelompok
Islam, Dewan Keamanan PBB, menyetujui pengiriman pasukan militer Afrika.
Para pejuang di Tuareg dan kelompok militan Islam yang dihubungkan
dengan Al-Qaidah memanfaatkan kudeta pada Maret tahun lalu untuk
menguasai wilayah utara yang luas, atau Azawad.
Di Azawad, entah
bagaimana mulanya, Islam menyebar demikian pesat dan tak terkendali.
Ingat, di Mali, 90 persen penduduknya beragama Islam. Konon, di bawah
tangan Iyad Ag Ghali, mantan pejuang Azawad dan mantan diplomat Touareg
yang terakhir menjabat sebagai wakil konsul jenderal Mali di Arab Saudi,
Azawad kembali memeluk nilai-nilai Islam yang terus saja ditolak oleh
presiden negeri saat ini.
Dalam pernyataan yang dirilis secara
teratur sejak akhir tahun lalu, kepemimpinan Mali telah berulang kali
menekankan visi politik dalam mendirikan sebuah negara sekuler di
Azawad. Baru-baru ini, pemerintah menggarisbawahi lagi perbedaan besar
mereka dengan Anshoruddin yang juga berulang kali menyatakan “akan
menetapkan hukum Syariah di Mali, tidak hanya di Azawad”. Ini adalah
komunike yang jelas yang membawa Prancis—dan bukan tidak mungkin akan
segera diikuti oleh negara-negara Barat lainnya untuk mulai sedikit
mengalihkan kepala ke Mali.
Di Azawad, sejak adanya Anshoruddin
secara rapi dan teratur, bar dan depot alkohol menutup, penjarahan milik
pribadi tak lagi terjadi dan akhirnya angka kriminalitas yang memang
selalu jadi nama tengah negara-negara Afrika, turun drastis.
Terlepas
dari kebenaran atau kepalsuan dari semua pemberitaan tentang label
invasi Prancis, aspek budaya, sosial dan spiritual dari populasi Azawad
sebagian besar bersahaja, maka, kemungkinan dan asumsi “Islamisasi
radikal” yang disebut dari Azawad tidak diperiksa secara menyeluruh.
Coba mari kita bayangkan, selama berabad-abad lamanya 1,3 juta penduduk
Azawad hidup rukun, dan sekarang mengapa lantas harus ada alasan untuk
tidak aman?
Orang-orang Touareg, Songhai, Peulhs dan Moor telah
hidup bersama satu sama lain sejak abad ke-14 ketika Kekaisaran Songhai
berkuasa dan sampai saat ini, mereka masih berdampingan menghadapi
kesulitan hidup dan kekeringan alam yang biasa menyerang wilayah
tersebut. Touareg, Moor dan Peulhs memiliki kesamaan gaya hidup pastoral
bahkan jika mereka tumbuh secara menetap. Peulhs dan Songhai adalah
kelompok etnis yang anggotanya melampaui Azawad dan perbatasan Mali.
Bahasa mereka, budaya dan tradisi tersebar di seluruh Afrika Barat di
mana Islam moderat dipraktekkan dan bisa pendampingan dengan Kristen dan
animisme.
Tapi ini bukan cerita film “The God Must Be Crazy”
atau sepenggal kisah tentang Frederic Kanoute pemain bola Muslim yang
berasal dari negara ini. Ini adalah permulaan invasi—sama seperti yang
dilakukan Amerika di Afghanistan dan Iraq. (islampos)
Komentar
Posting Komentar