Dalam buku: Umar bin Abdil Aziz Ma’alim al Ishlah wa at Tajdid karya Ali Muhammad ash Shalaby, juga bukuManhaj at Tarbiyah an Nabawiyah lith Thifl karya Muhamad Nur Suwaid, dicantumkan sebuah kisah yang menarik perhatian.
Saat
Umar bin Abdul Aziz telah resmi menjadi khalifah, berdatanganlah
rombongan-rombongan yang mengucapkan selamat dari berbagai wilayah. Di
antara rombongan tersebut ada yang berasal dari wilayah Hijaz.
Tidak ada
yang istimewa dari rombongan tersebut kecuali bahwa orang yang mereka
pilih untuk menjadi juru bicara di hadapan khalifah adalah seorang anak
kecil.
Saat anak kecil itu mau mulai bicara, Umar bin Abdul Aziz mencegah: Sebentar nak, yang hendaknya bicara adalah orang yang lebih tua dari kamu.
Anak kecil itu berkata: Sebentar wahai Amirul Mukminin, seseorang itu tergantung dua hal kecil (pada fisiknya); hatinya dan lisannya. Jika
Allah memberikan kepada hamba lisan yang mampu bicara dengan baik dan
hati yang menjaga maka sungguh ia berhak untuk bicara. Wahai Amirul
Mukminin, jika yang boleh maju adalah orang yang lebih tua, maka di umat
ini ada orang yang lebih tua dari dirimu (lebih berhak menduduki
posisimu).
Umar bin Abdul Aziz berkata: Bicaralah, nak!
Anak kecil itu mulai bicara: Ya
wahai Amirul Mukminin, kami ini adalah rombongan yang mengucapkan
selamat bukan rombongan yang mengucapkan bela sungkawa. Kami datang dari
wilayah kami, segala puji bagi Allah yang telah menganugerahkan dirimu
untuk kami, di mana Dia tidak mendatangkan kami hingga sampai kepada
dirimu dengan penuh harap dan takut. Adapun penuh harap, kami telah
datang dari wilayah kami. Adapun rasa takut, kami telah merasa aman dari
kedzalimanmu dengan keadilanmu.
Umar bin Abdul Aziz terkagum dengan kemampuan lisan anak kecil tersebut, juga ilmu dan akalnya.Umar bin Abdul Aziz pun berkata: Nasehatilah kami, nak dan persingkat!
Anak kecil itu berkata: Ya,
wahai Amirul Mukminin. Sebagian orang tertipu dengan kemurahan Allah,
panjangnya angan-angan mereka dan sanjungan orang kepada mereka, maka
kaki mereka pun terpeleset dan jatuh ke dalam Neraka. Maka janganlah
Anda terlena oleh kemurahan Allah, panjangnya angan-angan dan sanjungan
orang kepada Anda yang akan menyebabkan kaki Anda terpeleset dan
merugikan umat. Semoga Allah tidak menjadikanmu termasuk seperti mereka
dan menyatukanmu bersama orang-orang sholeh dari umat ini.
Kemudian anak itu diam.
Umar bin Abdul Aziz bertanya: Berapa umur anak ini?
Dijawab: 11 tahun
Umar bin Abdul Aziz bertanya tentang anak ini dan ternyata dia adalah anak dari Husain bin Ali radhiallahu anhum….
Umar bin Abdul Aziz pun memujinya dan mendoakannya.
Untuk
bisa mendalami kisah ini, hadirkan suasana peristiwa tersebut terjadi.
Peristiwa tersebut terjadi di suasana berdatangannya rombongan muslimin
mewakili wilayah-wilayah Islam. Suasana yang resmi. Di hadapan Amirul
Mukminin baru, Umar bin Abdul Aziz. Bukan sekadar seorang Khalifah.
Tetapi semua orang tahu bahwa Umar bin Abdul Aziz juga seorang ulama
besar. Tentu majlis tersebut, majlis yang dihadiri oleh banyak orang
besar di kekhilafahan.
Saat suasana seperti itulah, sang anak maju untuk bicara. Di hadapan semua. Dalam suasana resmi negara. Penuh dengan wibawa.
Kisah
yang sangat mengagumkan. Anak di usianya yang belum menyelesaikan
jenjang SD untuk rata-rata anak hari ini, telah mampu bertutur dengan
kalimat-kalimat yang belum tentu mampu diucapkan oleh seorang anak muda
yang telah selesai dari jenjang universitas.
Bukan saja
kalimatnya yang tersusun sedemikian rapi. Yang lebih dahsyat dari itu
adalah kemampuannya menyampaikan argumen dengan tepat di waktu yang
tepat. Saat Umar bin Abdul Aziz meragukan usianya yang masih sangat
muda, dia mampu ‘menohok’ sang khalifah dengan kalimat yang
sopan tetapi dalam. Bahwa kalau usia yang menentukan, tentu di wilayah
Islam ini ada orang yang lebih tua dari khalifah yang lebih berhak duduk
sebagai khalifah. Kalimat yang tepat dan seketika. Tak surut oleh
kalimat orang besar dan di hadapan banyak orang. Tenang dan cerdas.
Logis dan tepat.
Tak hanya kemampuan menyampaikan argumennya.
Bahkan kemampuan menyampaikan maksud kedatangan rombongan yang
diwakilinya. Tak sekadar tersampaikan. Tersampaikan dengan sempurna
berikut seluruh harapan besar mereka, dengan bahasa yang mengalir dari
lorong akal yang cerdas.
Demikian juga saat dia menyampaikan
nasehatnya di hadapan Amirul Mukminin, orang nomor satu di negara Islam.
Sungguh, pilihan tema yang tepat. Dalam untaian kalimat yang singkat,
jelas dan kuat.
Untuk bisa lebih mendalami lagi kehebatan hasil
didikan pendidikan Islam sesungguhnya itu, bandingkan dengan anak yang
seusia hari ini. 11 tahun sekarang ini belum dianggap memiliki cara
bertutur yang runtut. Biasanya di atas usia 13 tahun, baru seorang anak
dianggap mampu menuturkan cerita dengan urut dan runtut. Padahal telah
kita ketahui, bahwa sang anak hebat itu bukan saja mampu menyusun
kalimat. Tetapi mampu menyuguhkan olahan kecerdasan dan kecerdikannya.
Kemasan berikut isinya.
Tentu ini PR besar bagi keluarga dan
pendidikan hari ini. Setidaknya, harus ada sebuah pengakuan bahwa ada
yang salah dalam konsep keluarga dan pendidikan sekarang. Kualitas yang
sangat jauh dari hasil pendidikan Islam yang sesungguhnya.
Kita
juga harus belajar dari Umar bin Abdul Aziz. Yang meminta seorang anak
kecil hebat untuk memberikan nasehat di forum resmi negara. Ternyata
benar kata anak kecil itu, usia bukanlah yang menentukan.
Dan akhirnya, kita paham siapa anak kecil tersebut. Hadzasy syiblu min dzakal asad (anak singa kecil ini lahir dari singa besar itu).
Oleh: Ustadz Budi Ashari
(Islampos)
Komentar
Posting Komentar