Ukhti, Belajarlah Dari Kegagalan Wanita Yahudi

ISLAM tidak menyukai wanita dilelahkan syarafnya dengan bekerja memeras tenaga. Wanita yang bekerja pulang ke rumah sudah dalam keadaan lelah seperti halnya si pria sendiri. Syarafnya tegang dan otot kaku. Lalu timbullah pergeseran-pergesaran tegang antara dia dengan suaminya. Kedua-duanya tidak mau mengalah. Anak-anaknya pun lalu merasa tidak punya ibu. Yang terasa oleh mereka adalah mereka punya dua ayah, yang sama-sama pria. (Muhammad Quthb)

Pada 4 Januari tahun 1988, koran New York Times merilis hasil penelitian mengenai psikologi wanita karir Yahudi di Amerika yang dilakukan seorang sosiolog di Gratz College, Philadhelphia. Survey bertajuk “Jewish Women on the Way Up: The Challenge of Family, Career, and Community” ini melibatkan para wanita Yahudi. Beberapa organisasi Yahudi pun mengumpulkan sekitar 1000 orang wanita Yahudi baik sebagai pebisnis maupun wanita professional untuk menjadi objek garapan dari penelitian serius ini.

Penelitian sendiri disponsori oleh Komite Yahudi Amerika dan Majalah triwulanan berhaluan Feminis Yahudi bernama Lilith. Seribu wanita itu kemudian diberikan kuesioner dan diwajibkan untuk mengisi seluruh pertanyaan agar riset berjalan maksimal.

Hasilnya, cukup menarik. Kesimpulan dari survei itu adalah bahwa sementara perempuan lain masih banyak menemukan diri mereka harus memilih antara pernikahan, karir dan melahirkan anak, wanita karir Yahudi justru berhasil memadukan ketiganya. Ini adalah sebuah temuan yang memang mendukung opini sebelumnya dimana perhatian Yahudi terhadap keluarga tergolong sangat tinggi. Wanita Yahudi yang bergelar sarjana, master, ataupun doktor mampu membagi peran antara seorang pekerja dengan status mereka sebagai seorang ibu.

Meningkatnya jumlah wanita karir Yahudi yang membanjiri sektor ekonomi sebenarnya tidak terlepas akan dua hal. Pertama, krisis finansial bangsa Yahudi. Jika kita berkaca kepada sejarah, dominasi wanita Yahudi yang mewarnai lapangan pekerjaan tidak terlepas dari peran dinamika kehidupan mereka di Eropa. Lambannya Yahudi dalam menguasai sektor perekonomian, memaksa mereka memutar otak untuk membiayai kehidupan. Terlebih jumlah Yahudi sangat sedikit. Mereka juga banyak mengalami krisis identitas saat mengarungi diaspora ke berbagai Negara. Walhasil, diskriminasi Eropa terhadap mereka membuat banyak elite Yahudi memainkan peran wanita untuk menyambung keluarga.

Namun peran yang begitu signifikan ada pada faktor kedua, yakni peran  mereka dalam menguatkan ide feminisme lewat Revolusi Perancis. Perlu dicatat bahwa Revolusi Perancis sama sekali bukan garapan orang-orang Perancis yang ditujukan demi kebaikan rakyat Perancis itu sendiri. Revolusi Perancis digerakkan oleh agen-agen kepentingan asing (yahudi kapitalis internasional) dengan tujuan menghancurkan seluruh stuktur masyarakat dan negara Perancis untuk digantikan dengan “orde baru” yang sesuai dengan kepentingan mereka.

Hal ini pun dikonfirmasi oleh dokumen Protocols of Learned Elders of Zion (Protocols of Zion), dokumen rahasia yang memuat rencana dominasi dunia oleh tokoh-tokoh yahudi. Protokol ketujuh dan pertama dokumen itu mengatakan:
“Ingat dengan Revolusi Perancis yang kepadanya kita menyebutkan sebagai keberhasilan besar. Rahasia dari persiapannya dikenal luas di kalangan kita karena sesungguhnya itu adalah pekerjaan kita.
“Kitalah yang pertama kali berteriak di antara massa ‘Liberty, Equality, Fraternity.’ Orang-orang gentile (non-yahudi) bodoh berdatangan dari seluruh penjuru untuk memakan umpan itu, dan bersama mereka melakukan ‘kebaikan untuk dunia’. Bahkan orang-orang bijak dari gentile sedemikian bodohnya sehingga tidak mengerti bahwa pentingan asing.”

Dengan semboyan equality inilah feminisme menemukan momentumnya. Sebuah buku berjudul Vindication of The Rights of Women yang dikarang Mary Wollstronecraft pada tahun 1792 bisa kita ambil sebagai bahan kajian lebih jauh. Seperti dikatakan Rosemarie Putnam Tong dalam bukunya Feminist Thought, Mary adalah wanita yang mendelegasikan feminisme gelombang pertama. Ia menggambarkan bahwa kerusakan psikologis dan ekonomi yang dialami perempuan disebabkan oleh ketergantungan perempuan secara ekonomi kepada laki-laki dan peminggiran peran perempuan dari ruang publik.

Marry Wollctronecraft yang mencoba bunuh diri sebanyak dua kali dan menolak menikah hingga usia yang lebih lanjut ini kemudian menginginkan bahwa perempuan bukanlah “mainan laki-laki atau lonceng milik laki-laki”. Dengan kata lain, perempuan bukanlah “sekedar alat” atau instrumen untuk kebahagiaan atau kesempurnaan orang lain. Sebaliknya perempuan adalah tujuan yang memiliki harga diri untuk menentukan nasibnya sendiri. dalam realitas tidak pernah ada persamaan dan kebebasan.

Dalam perkembangannya, tren wanita karir menjadi suatu fakta yang tidak terelakkan. Feminisme berkembang menjadi ‘wahyu’ untuk menuntun para wanita dalam menuntaskan struktur keluarga yang sangat mengekang bagi perkembangan perempuan.

Namun pemikiran Yahudi yang menggembar-gemborkan kebebasan untuk wanita dalam berkarir mulai menimbulkan dampaknya. Efek daripada ini berimbas kepada mulai dipertanyakannya kesimpulan bahwa wanita Yahudi mampu memadukan antara karir, keluarga, dan mengurus anak. Bahwa tidak semua wanita Yahudi bisa digambarkan sebagai sosok perempuan ideal seperti penelitian Lilith tahun 1988. Maka 14 tahun kemudian situasi menjadi berubah.

Dalam catatan tingkat perceraian yang dirilis Divorcemag.com, pada tahun 2002 saja, tingkat perceraian di Israel yang hanya sebuah Negara kecil, mencapai angka 14%.Menariknya survey itu tidak mencatumkan negara-negara muslim sebagai Negara yang memiliki tingkat perceraian tinggi. Tercatat Negara mayoritas muslim seperti Turki hanya mencantumkan angka 6%. Itu pun jika kita mau mendebat penyebutan Turki sebagai Negara muslim mengingat bahwa Negara para Fatih tersebut masih setia dalam menerapkan hukum sekuler.

Bahkan tingkat peceraian di Israel semakin tajam dari waktu ke waktu. Pada tahun 2006 saja, Pengadilan Administrasi Rabbinis mengemukakan bahwa di Yerusalem, kota yang didominasi religiusitas Yahudi, ada kenaikan tajam 10,4 % perceraian di kalangan keluarga Yahudi dibandingkan dengan tahun sebelumnya.

Menariknya para pelaku perceraian di Israel justeru berasal dari kalangan religius Yahudi yang terkenal militan, radikal, fundamentalis atau bisa disebut sebagai kelompok ultra ortodoks yang diwakili oleh komunitas Yahudi Haredim.

Komunitas Haredim sendiri adalah sebuah kelompok masyarakat Yahudi ultra-ortodoks yang menjadikan Taurat sebagai pegangan hidup. Jumlah mereka mencapai 10 % dari total 7,8 juta penduduk Israel. Dalam masyarakat Yahudi Haredim, semua yang berbau sekuler sangat dilarang. Kelompok ini juga mengharamkan para pengikutnya untuk memiliki radio dan televisi, terlebih lagi menontonnya.

Kehidupan mereka sendiri sering diisi dengan saling bertukar kabar melalui poster yang ditempelkan di tembok jalanan. Lelaki dan perempuan yang bukan muhrim juga tidak diperkenankan untuk berduaan, apalagi berpacaran. Pernikahan pun diatur dengan sistem perjodohan. Gambar perempuan otomatis dilarang tampil di muka umum, dan tiap hari Sabbath, mereka mengeluarkan kebijakan untuk tidak boleh ada yang mengemudikan kendaraan.

Namun yang menjadi menarik adalah bahwa kelompok yang memegang teguh Taurat seperti Heredim pun menjadi penumbang saham terbesar dalam perceraian keluarga Yahudi di Israel. Menurut Rabi Yitzhak Ralbag, petinggi di kantor pernikahan Yahudi (semacam KUA di Israel) banyaknya pasangan religius yang bercerai adalah suatu fakta yang menjadi pukulan telak bagi Yahudi. Seperti dikutip dari Jerusalem Post, Ralbag mengatakan,

“I see it even among haredim when they come to register for marriage. More and more requests to marry are being made by haredi divorcees. Once it was an embarrassment.”

Jika tingkat perceraian saja, sudah menggerogoti kaum ortodok Yahudi, maka kaum sekuler pasti akan memiliki riwayat sama, jika tidak secara matematis mengalami hal yang lebih buruk. Nomor perceraian keluarga sekuler di Tel Aviv melonjak naik meski pada tingkat yang lebih moderat. Masih, menurut laporan Jerusalem Post, tercatat ada sekitar 3.007 orang Yahudi yang memilih untuk mengakhiri pernikahan mereka pada tahun 2006. Dalam data pengadilan, angka perceraian keluarga sekuler Yahudi ini naik 4,4% dari tahun 2005.

Dan menariknya salah satu alasan perceraian di kalangan keluarga Yahudi disebabkan karena kesibukan ekonomi yang sedikit banyak membuat para wanita mengambil sektor pekerjaan. Kesibukan wanita Yahudi ini tentunya membuat mereka banyak menelantarkan keluarga. Wanita yahudi juga banyak menjalin kasih dengan pria lain dari hubungan pekerjaanya.

Sebagai umat Islam, kita bisa mengambil pelajaran dari runtuhnya tatanan keluarga di kalangan Yahudi. Islam sebenarnya sudah bisa memprediksi kehancuran sebuah keluarga yang tidak hanya menimpa kaum kafir tersebut. Menurut Muhammad Quthb, dalam bukunya Ma’rakah At Taqalid, Islam memang tidak menyukai posisi wanita yang mengambil jalan karir sebagai pilihan hidupnya. Sebab Islam, kata Muhammad Quthb tidak suka wanita dilelahkan fisiknya dengan bekerja memeras tenaga. Secara lebih jauh, Profesor Kajian Islam dari Universitas Arab Saudi itu menulis sebuah hal yang menarik,

“Wanita yang bekerja pulang ke rumah sudah dalam keadaan lelah seperti halnya si pria sendiri. Syarafnya tegang dan otot kaku. Lalu timbullah pergeseran-pergesaran tegang antara dia dengan suaminya. Kedua-duanya tidak mau mengalah. Anak-anaknya pun lalu merasa tidak punya ibu. Yang terasa oleh mereka adalah mereka punya dua ayah, yang sama-sama pria.”

Oleh karena itu, menurut Muhammad Quthb, Islam adalah agama yang gigih menjamin seluruh esensial hidup wanita, tanpa mengharuskannya memburu, memeras keringat, demi mendapatkan sesuap nasi. Namun hal ini bukan berarti Islam kemudian melarang wanita bekerja. Karena bekerja diperbolehkan dalam Islam. Paling banter, Islam tidak menyukainya. Meski perlu juga dicatat bahwa keputusan wanita bekerja dapat dilakukan jika dalam situasi terdesak, darurat, dan memaksa perempuan untuk turun tangan, seperti ketika ia ditinggalkan suaminya. Namun terlepas dari situasi itu, perempuan tidak diwajibkan untuk bekerja. Karena hak memberikan nafkah ada pada suami.

“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. sebab itu Maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada.” (Annisa: 34)

Maka bila seorang wanita menikah, hamil, lalu melahirkan, amanah perempuan yang pertama kali tertumpu pada dirinya adalah sektor rumah tangganya. Kenapa? Sebab perempuan memiliki peran strategis lagi mulia, yakni mempertahankan status tauhid seorang anak yang telah diberikan oleh Allah dan itu jauh lebih mulia ketimbang mereka mendahulukan karirnya. Maka itu tidak heran dalam sebuah hadis mengenai fitrah anak, Rasulullah SAW menyebut ibu pada posisi pertama sebelum ayah dalam mendidik agama anaknya, “Setiap bayi lahir dalam keadaan fitrah (bertauhid). Ibu bapaknyalah yang menjadikan Yahudi, Nasrani atau Majusi.”

Dan proses seorang wanita menjadi sebenar-benarnya wanita tidak akan pernah berjalan baik, jika ia melupakan status utamanya sebagai seorang ibu. Proses ini pun juga mustahil terjadi jika seorang wanita lebih mendekatkan dirinya kepada karirnya ketimbang amanah besar yang diberikan Allah untuk menuntaskan hadis Rasulullah tersebut. Dalam hal ini, Islam bukan kemudian melarang wanita meraih pendidikan tinggi di luar rumahnya, karena menuntut ilmu wajib bagi seluruh umat muslim. Namun Islam mendelegasikan bahwa tugas keilmuan pertama yang mesti dipelajari seorang wanita adalah ilmu rumah tangganya, setelah itu baru ia bisa memilih jenjang pendidikan lain yang ia sukai.

Karena Islam adalah agama satu-satunya yang tidak mengenal dikotomi keberhasilan seorang wanita yang sukses di luar rumah, namun meninggalkan jejak kehancuran di dalam rumahnya. Seperti Marry Wollstronecraft, yang katanya “sukses” menjadi feminis, tapi justeru sudah melakukan percobaan bunuh diri berkali-kali dan membunuh fitrahnya dengan tidak menikah sampai usia lanjut.

Maka itu Islam sangat adil meletakkan proporsi perempuan baik sebagai ibu, penuntut ilmu, dan pengurus suami. Jauh lebih berkeadilan dan beradab ketimbang instrumen Lilth dalam menilai wanita Yahudi, yang pada perkembangannya bahwa keutuhan rumah tangga Yahudi tidak bisa dipertahankan.

Maka, meminjam bahasa seorang penyair Arab maka peran ibu muslim disini bagaikan sebuah madrasah yang akan simetris, tidak saja pada perannya mendidik seorang anak, tetapi juga pada kadar kualitas generasi dimana ia tinggal. “Ibu adalah sebuah madrasah (tempat pendidikan) yang jika kamu menyiapkannya. Berarti kamu menyiapkan (lahirnya) sebuah masyarakat yang baik budi pekertinya.” (Islampos)

Komentar