Syiah Galau, Kasasi Ditolak MA, Tajul Muluk Tetap Divonis 4 Tahun

JAKARTA (voa-islam.com) – Akhirnya Mahkamah Agung (MA) menolak upaya hukum kasasi tokoh Syiah Sampang-Madura, Tajul Muluk. Tajul gigit jari, dan harus menerima kenyataan,  tetap mendekam selama 4 tahun karena menodai agama.

Seperti diketahui, Tajul Muluk alias H Ali Murtadha didakwa telah melakukan penistaan agama sehingga memicu kerusuhan Sampang, Madura pada 2011 lalu. Pada 12 Juli 2012 Pengadilan Negeri (PN) Sampang memvonis dengan hukuman 2 tahun penjara atas dakwaan penodaan agama. Putusan ini diperberat menjadi 4 tahun seiring dengan keluarnya putusan banding Pengadilan Tinggi Surabaya pada 21 September 2012.

Atas vonis banding ini, Tajul Muluk mengajukan kasasi dan kandas. Selain itu, Tajul Muluk juga tengah mengajukan upaya hukum ke Mahkamah Konstitusi (MK) dengan mengajukan uji materiil pasal 156 (a) KUHP tentang pencegahan atau penyalahgunaan atau penodaan agama. Tajul menganggap, pasal itu tidak sesuai dengan pasal 28 UUD 1945.

 Perkara nomor 1787 K/PID/2012 masuk klasifikasi penodaan agama. Duduk selaku ketua majelis hakim kasasi Prof Dr Hakim Nyak Pha dengan anggota hakim agung Sri Murwahyuni dan Dr Dudu D Machmudin.Diputus pada 3 Januari 2013 dengan panitera pengganti M Ikhsan Fathoni.

Syiah Menodai Agama
Sebelumnya, pemohon yang bernama Tajul Muluk dkk mengajukan uji materi ke MK. Menurutnya, ketentuan dalam Pasal 156a KUHP mengandung muatan norma yang terlalu luas dan multitafsir sehingga tidak memiliki kepastian hukum pada unsur-unsur pasal tersebut. Dalam permohonannya, ia meminta MK untuk menyatakan bahwa penggunaan pasal ini terlebih dahulu harus dengan perintah SKB 3 Menteri (Menteri Agama, Menteri/Jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri).

Pemerintah menyatakan Pasal 156a KUHP jo Pasal 4 UU No 1/PNPS Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama bukan merupakan bentuk diskriminasi terhadap kebebasan beragama.

Sebaliknya, menurut pemerintah UU tersebut justru dimaksudkan untuk memberikan perlindungan terhadap kehidupan umat beragama di Indonesia. Hal itu disampaikan Direktur Jenderal Bimas Kementerian Agama, Abdul Djamil, dalam persidangan di Mahkamah Konstitusi (MK).

“UU pencegahan agama bukan dimaksudkan untuk mengekang kebebasan agama, justru ini rambu-rambu pencegahan penodaan agama," ujarnya saat menjadi saksi ahli dalam persidangan di MK, Selasa (18/12/2012).

Menurutnya, jika MK mengabulkan permohonan uji materi ini, maka akan terjadi kekacauan hukum yang berpotensi menimbulkan konflik. Djamil mengatakan, bila pemohon meminta adanya Surat Keputusan Bersama 3 Menteri (SKB 3 Menteri) sebagai syarat penggunaan Pasal 156a, maka hal itu sepenuhnya merupakan kewenangan hakim."Pemerintah melihat ini bukan permasalahan konstitusional, melainkan masalah penerapan norma dari undang-undang," jelas Djamil dalam ruang persidangan. (Voaislam)

Komentar