SUATU
saat seorang ibu bertanya kepada saya tentang pesantren untuk anak
laki-lakinya. Saya berikan beberapa rekomendasi yang saya tahu. Di
antaranya pesantren khusus laki-laki. Di pesantren tersebut tidak ada
murid perempuan dan hanya menerima murid laki-laki.
Ibu itu serta
merta menjawab, “Saya takut kalau anak saya tidak pernah melihat dan
berinteraksi dengan perempuan selama di pesantrennya, akan jadi ‘buas’
saat keluar pesantren.”
Ada lagi seorang ayah yang mengajari
kesia-siaan (menurut syariat Islam). Dia berdalih, “Daripada belajarnya
di luar dan tidak terkontrol, lebih baik dengan saya dan bisa saya
kontrol. Biarkan dia mengenal dunia itu, agar nanti mereka bisa
merasakan saat usianya telah tiba dan bisa menjauhinya.”
Ini hanya
sebagian dialog yang saya temukan di keluarga-keluarga muslim. Ada
banyak dialog berbeda tetapi dengan makna sama. Intinya, kalau anak
‘dikurung’ dengan ajaran keislaman dan tidak pernah mencoba dunia
jahiliyah, maka dikhawatirkan mereka justru akan sangat penasaran dan
lebih ‘buas’ terhadap dosa itu.
Ini kesimpulan mereka. Dan luar
biasanya, kesimpulan ini otomatis hadir di otak tanpa dipikirkan.
Menunjukkan sudah begitu lekat dan mendarah daging dalam diri orangtua.
Terbukti ia tak perlu berpikir lama untuk mengeluarkan kesimpulan itu.
Sebuah
kesimpulan hadir dari sebuah teori. Teori yang terus disuntikkan,
hingga mendarah daging. Silakan anda cari, teori apa yang melandasi
kesimpulan ini dan dari mana datangnya.
Dan kini bandingkan dengan pembahasan ini.
Allah
SWT memuji Nabi Yahya dalam Surat Maryam. Dari ayat, “Wahai Yahya!
Ambillah (pelajarilah) Kitab (Taurat) itu dengan sungguh-sungguh. Dan
Kami Berikan hikmah kepadanya (Yahya) selagi dia masih kanak-kanak.”
(Qs. Maryam: 12).
Hingga ayat,
“Dan kesejahteraan bagi dirinya pada hari lahirnya, pada har iwafatnya, dan pada hari dia dibangkitkan hidup kembali.” (Qs. Maryam: 15).
“Dan kesejahteraan bagi dirinya pada hari lahirnya, pada har iwafatnya, dan pada hari dia dibangkitkan hidup kembali.” (Qs. Maryam: 15).
Dalam tulisan yang lalu, saya
pernah menulis (bukan untuk bermain aku diciptakan) mengambil pelajaran
dari ayat ini. Kini saya nukilkan lanjutan dari penjelasan Ibnu Katsir
-rahimahullah- dalam tafsirnya, Abdurrazzaq berkata: kami dikabari
Ma’mar dari Qotadah pada firmanNya: {جَبَّارًا عَصِيًّا} ia berkata:
Ibnu Musayyab pernah menyebutkan: Nabi SAW bersabda, “Tidak ada seorang
pun berjumpa Allah kelak pada hari kiamat kecuali pasti punya dosa
kecuali Yahya bin Zakariya.”
Qotadah berkata: Dia tidak punya dosa, tidak pernah berminat (dosa) dengan wanita. (Hadits Mursal).
Qotadah berkata: Dia tidak punya dosa, tidak pernah berminat (dosa) dengan wanita. (Hadits Mursal).
Begitulah penjelasan Ibnu Musayyab dan Qotadah –rahimahumallah-.
Adapun hadits yang diriwayatkan Ibnu Musayyab mursal dhoif.
Tapi berikut ini ada riwayat lain yang serupa,
“Tidak ada seorang pun dari anak Adam kecuali pasti pernah bersalah atau berniat berbuat salah, kecuali Yahya bin Zakariya.”
Hadits
ini diriwayatkan oleh Al-Baihaqi, Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Mushonnaf,
Ahmad, Abu Ya’la, Ath-Thobroni dalam Al-Mu’jam Al-Kabir.
Para
ulama hadits berbeda pendapat tentang keshahihan hadits ini. Sebagian
mengatakan bahwa hadits tersebut mursal dhoif. Seperti yang dikatakan
oleh An-Nawawi, Ibnu Katsir dan Ibnu Hajar. Dan sebagian lain mengatakan
shahih. Seperti pendapat Al-Hakim, Adz-Dzahabi dan Al-Albani.
Terlepas dari perbedaan pendapat para ahli hadits, Allah berfirman di ayat lain tentang Yahya,
“Kemudian
para malaikat memanggil-nya, ketika dia berdiri melaksanakan shalat di
mihrab, Allah Menyampaikan kabar gembira kepadamu dengan (kelahiran)
Yahya, yang membenarkan sebuah kalimat (firman) dari Allah, panutan,
berkemampuan menahan diri (dari hawa nafsu) dan seorang nabi di antara
orang-orang saleh.”
Tidakkah ini layak menjadi renungan kembali bagi para orangtua yang ragu ‘mengurung’ anaknya dengan Islam sejak kecil.
Tidakkah
ini bisa menjadi upaya perbaikan arah pendidikan keluarga, bagi yang
masih berpendapat bahwa anak harus dikenalkan dengan dosa dan
kesia-siaan terlebih dahulu.
Bukankah Yahya yang telah belajar Al-Kitab dengan sungguh-sungguh sejak kecil, menjadi orang luar biasa;
Membenarkan sebuah kalimat (firman) dari Allah
Panutan
Berkemampuan menahan diri (dari hawa nafsu), dan
Seorang nabi di antara orang-orang saleh
So, masih ada yang ragu…?
(Islampos)
Komentar
Posting Komentar