Band Rock Perempuan Kashmir Bubar Setelah Personilnya Diancam Mati

SRINAGAR, INDIA - Band rock perempuan pertama di wilayah Kashmir yang dikuasai India telah memutuskan untuk bubar setelah melakukan satu kali konser karena ancaman yang diterima terhadap para anggota band remaja tersebut pada media sosial dan permintaan dari seorang ulama Muslim terkemuka bahwa agar mereka berhenti melakukan pentas.
 
Kelompok pejuang kemerdekaan Kashmir mengkritik band tersebut untuk apa yang dikatakannya sebagai "budaya ketidakpatuhan gaya Barat".
Adnan Mattoo, guru musik dan manajer grup rock tersebut, mengatakan ketiga siswa SMA yang membentuk Pragaash - drummer Farah Deeba, bass gitar Aneeqa Khalid dan penyanyi dan gitaris Noma Nazir - tidak akan berbicara tentang keputusan mereka untuk membubarkan diri dan apa yang menyebabkan itu.

"Mereka merasa sangat takut dan ingin segera mengakhiri kontroversi ini untuk selamanya," kata Adnan Mattoo sebagaimana dilansir The National Selasa (5/2/2013). "Pertama kali, gadis-gadis itu memutuskan untuk berhenti melakukan live performance karena kampanye kebencian online dan berkonsentrasi pada pembuatan album. Tapi setelah sebuah fatwa oleh ulama pemerintah, gadis-gadis ini memutuskan untuk mengucapkan selamat tinggal selamanya pada musik."

Pragaash melakukan pentas di depan umum untuk pertama kalinya pada bulan Desember di Srinagar, kota utama di Kashmir yang dikuasai India. Band ini memenangkan tempat ketiga dalam pertunjukkan tahunan Battle of the Band rock yang diselenggarakan oleh pasukan paramiliter India sebagai bagian dari kampanye untuk merebut hati dan pikiran masyarakat Muslim di wilayah tersebut.

Segera setelah pertunjukan itu, laman-laman warga Kashmir di situs jejaring sosial seperti Facebook memperdebatkan band tersebut. Beberapa mempertanyakan apakah pertunjukkan mereka itu sesuai dalam masyarakat yang didominasi Muslim di Kashmir dan orang lain mengangkat pertanyaan yang lebih luas pada pendekatan Islam untuk musik dan peran perempuan dalam masyarakat.

Sebagian komentator mendukung gadis-gadis tersebut, tetapi orang lain yang kasar, menyebut mereka "pelacur" dan "wanita tuna susila" dan menyerukan mereka dan keluarga mereka harus diusir dari wilayah tersebut.

Kontroversi tersebut diperdalam pada hari Sabtu setelah Omar Abdullah, pejabat tinggi daerah terpilih, berjanji melakukan penyelidikan polisi ke dalam ancaman dan menulis di Twitter bahwa "remaja berbakat tidak boleh membiarkan diri mereka dibungkam oleh segelintir orang bodoh".

Gadis-gadis tersebut kemudian menjadi alat politik bagi semua pihak dalam konflik.

Hal ini membuat Mufti Bashiruddin Ahmad, ulama Kashmir yang ditunjuk negara, turun tangan dan mengeluarkan fatwa pada hari Ahad memerintahkan para gadis tersebut untuk "berhenti dari kegiatan bermusik dan untuk tidak dipengaruhi oleh dukungan dari kepemimpinan politik".

Aliansi utama pembebasan Kashmir, All Parties Hurriyat Conference, mengkritik  Abdullah untuk selektif mendukung kebebasan berekspresi dan mengatakan konser band itu adalah "langkah untuk mengalihkan gadis-gadis muda ke arah Westernisasi."

Namun, aliansi tersebut berlepas diri dari fatwa ulama Kashmir tersebut dan membantah gadis-gadis itu di bawah ancaman. "media India memberitakan masalah kecil secara besar-besaran dengan tujuan untuk memfitnah perjuangan kemerdekaan Kashmir."

Para ahli mengatakan untuk kebanyakan orang di Kashmir, penyanyi wanita maupun musik adalah masalah. "Ini menjadi masalah ketika itu digunakan untuk menumbangkan sebuah realitas politik yang dominan," kata Wasim Bhat, seorang sosiolog Kashmir.

Kashmir memiliki tradisi panjang puisi dan musik, dan telah menghasilkan ikon penyanyi wanita termasuk Raj Begum, Kailash Mehra, Naseem Begum dan Shamima Azad, istri menteri kesehatan India, Ghulam Nabi Azad.

Menyusul kampanye bersenjata para pejuang Islam dua dekade lalu untuk mendapatkan kemerdekaan bagi Kashmir yang dikuasai India atau bergabung dengan Pakistan, para pejuang pembebasan Kashmir mulai memerintahkan penutupan bioskop dan toko-toko minuman keras, menyebut mereka "tidak Islami" dan sebagai kendaraan agresi budaya India.

Militer India menanggapi perjuangan pemisahan diri tersebut dengan penumpasan yang termasuk penyiksaan, penculikan, pemerasan dan pembunuhan hingga menyebabkan lebih dari 68.000 orang tewas.

Ketika kekerasan bersenjata berkurang dalam beberapa tahun terakhir, pertunjukkan musik dan pertunjukan teater kembali muncul, tetapi beberapa dalam batas-batas yang ditetapkan selama tetap berlangsungnya konflik. (Voislam)

Komentar