SUARA
dentuman dahsyat itu terjadi hampir setiap 10 menit. Ia panik luar
biasa berlari mencari tempat berlindung. Sementara ledakan demi ledakan
yang memekakkan telinga dan menggetarkan jantung terus terjadi, ia
justru melihat darah bersimbah tumpah di jalan-jalan. Rentetan bunyi
senjata bersahutan di antara dentuman yang tak juga berhenti.
Ia berusaha menenangkan diri, bahwa keadaan dirinya akan selamat, dan ia akan baik baik saja. Do’a di antara ketakutan tak putus diucapkan, meminta kepada Allah Yang Maha Kuasa, agar diselamatkan dari ancaman kematian yang sedang mengancam.
Ia berusaha menenangkan diri, bahwa keadaan dirinya akan selamat, dan ia akan baik baik saja. Do’a di antara ketakutan tak putus diucapkan, meminta kepada Allah Yang Maha Kuasa, agar diselamatkan dari ancaman kematian yang sedang mengancam.
Itu sepintas kengerian yang
terjadi di tanah Gaza, Palestina. Peristiwa itulah yang dialami penduduk
Muslim Gaza saat melewati hari-hari pembantaian oleh pasukan Zionis
Israel yang tanpa ampun menggempur mereka melalui udara dan darat.
Ungkapan itu disampaikan oleh seorang pria bernama Abu Hani, salah
seorang tim medis di Palestina yang kebetulan selamat dari lubang
kematian di Gaza ketika itu. Ia kemudian menuturkan banyak hal tentang
pengalamannya yang sulit dilupakan, saat harus berada di antara dentuman
roket dan suara peluru senjata. Abu Hani, adalah petugas medis, ia juga
menjadi target pembunuhan keji pasukan Israel , seperti juga dialami
rekan-rekannya sesama tim medis di Gaza. “Saya meminta kepada Allah agar
Anda tidak pernah mengalami apa yang saya alami dalam penderitaan dan
krisis seperti ini. Apa yang kami alami seperti tidak bisa diterima oleh
akal. Tapi insya Allah krisis ini akan berakhir nantinya. Saya tidak
ingin ada orang yang mengalami apa yang saya rasakan. Saya minta kepada
Allah agar kalian tidak bersama kami. Kami akan menang di negeri ini dan
juga di seluruh Negara umat Islam.” Itu perkataan Abu Hani saat seorang
wartawan mendekatinya dan berupaya mengutip kisahnya saat melewati fase
operasi militer Israel yang tak berprikemanusiaan di Gaza.
Abu
Hani menceritakan kejadian dalam dua puluh empat jam yang sangat
menegangkan itu. Ia bercerita, “Saya diminta untuk dating ke rumah
saudara syahid Thalat. Saya sampai di rumah itu, dan saya melihat
jenazah Thalat berada di atas atap rumah sejak ia gugur. Hampir seluruh
tubuhnya berwarna merah darah yang sudah nyaris hampir kering.
Jenazahnya memang hampir sulit diturunkan. Tak satupun orang, termasuk
keluarganya, berani menuruninya karena bisa saja hal itu memancing
kedatangan pasukan udara Israel yang siap membombardir mereka kembali.
Menurut sebagian keluarganya yang masih hidup, Thalat sempat bertahan
hidup selama sekitar 15 jam setelah ledakan roket menghancurkan rumah
dan melempar tubuhnya ke atas.
Yang mengharukan adalah, saat
jenazah Thal’at berhasil diturunkan. Orang tua Thal’at berkata, “Biarkan
aku melakukan perpisahan dengan anakku.” Orang-orang mengira ia akan
menangis dan berteriak sedih saat mendekati putranya. Tapi ternyata
tidak. Orang tua Thal’at, justru mendekat dan memandang anaknya sambil
mengatakan, “Aku titipkan engkau kepada Allah. Kita akan berjumpa di
surga dengan izin Allah. Insya Allah anakku, Allah akan memudahkanmu.. “
Tak lama kemudian ibunda dari Thal’at juga datang dan mengatakan,
“Anakku… Engkau meminta surga. Insya Allah kita akan bertemu di sana .
Allah akan memudahkanmu.. “ Itulah sepenggal cerita tentang keluarga
seorang pemuda Thal’at.
Abu Hani lebih lanjut bercerita tentang
pemandangan yang begitu menyakitkan. “Saya menyaksikan lima orang
anak-anak dari satu keluarga yang seluruhnya akhirnya meninggal akibat
roket Israel yang menghantam rumah mereka. Di antara anak-anak itu, ada
yang terpotong tangannya, kakinya. Sebelum syahid menjemputnya,
anak-anak itu bergumam,”… syahiid.. syahiid…” Hingga akhirnya mereka
menghembuskan nafasnya yang terakhir di depan mata Abu Hani yang ingin
mengobatinya. Abu Hani juga bercerita tentang pengalamannya yang lain.
Ia mengatakan, “Saya dipanggil untuk menolong anggota keluarga dari
sebuah rumah milik Abu Jarhum. Saat aku memasuki rumah itu, ada empat
orang anak perempuan kecil-kecil. Yang paling besar belum lebih dari
lima tahun usianya. Mereka semua dalam kondisi luka parah. Saya membawa
mereka semuanya ke rumah sakit. Alhamdulillah kini kondisi mereka sudah
membaik. Abu Hani tampak berat mengungkapkan kepedihan ini dan
mengatakan, “Apa yang akan anda lakukan bila Anda melihat dua orang
kakak beradik yang terkena roket saat sedang membuat roti. Saat
meninggal, salah satu dari keduanya sedang dalam posisi ingin meletakkan
tepung untuk dimasukkan ke dalam tungku.
Abu Hani terus
melanjutkan kisah-kisahnya yang mendebarkan sekaligus seperti
mengiris-iris hati dengan sembilu. Ia mengatakan, “Aku berangkat untuk
menolong seorang perempuan. Awalnya, perempuan itu berdiri di dekat
jendela. Tapi tiba-tiba sebuah roket jatuh dan menyebabkan kaki saudara
laki-lakinya terputus. Sementara ia sendiri mengalami luka parah karena
roket itu. Sebelum akhirnya meninggal, ia mungkin merasa saya ada di
lokasi itu dan siap untuk menolongnya. Ia mengumpulkan segenap tenaganya
yang tersisa dan berusaha memperbaiki kerudungnya yang agak tersingkap.
Matanya, menatap lirih ke ibundanya yang juga mendampingi saya saat
itu, seolah meminta agar auratnya tetap terjaga dan tidak terlihat
olehku… “
Abu Hani melanjutkan bagaimana aktifitasnya sebagai
tenaga medis mendatangi berbagai perkampungan di Gaza, termasuk
Jabaliya. Di tempat itu ia bertemu dengan seorang pemuda yang gugur,
bernama Izzuddin. Pemuda itu semula sedang duduk beristirahat di bawah
pohon saat roket Israel menghantamnya, hingga tubuhnya terbelah dua.
Tapi saat menjelang meninggal, ia sempat mengangkat telunjuknya dan
mengucapkan syahadat “asyhadu anllaa ilaaha illa Llah.. “ Kisah lainnya
juga disampaikan Abu Hani saat ia membawa seorang pemuda bernama
Muhammad ke rumah sakit. Tubuh Muhammad nyaris penuh oleh luka. Ada
sekitar 50 luka sobekan parah di jasad Muhammad yang harus segera
diobati. “Tak ada bagian tubuhnya yang bergerak kecuali jantungnya yang
masih berdegup dan mulutnya yang terus menerus berdzikir kepada Allah.
Para dokter yang ingin menolongnya sangat kagum dengan kondisi Muhammad.
Tapi setelah dua jam dirawat, Muhammad tak tertolong lagi. Di
penghujung nafasnya ia melafazkan dua kalimat syahadat dan membaca surat
Al fatihah, lalu kemudian meninggal.
Ini sebagian kecil dari
pemandangan luar biasa yang terjadi di Gaza, saat Israel menghantam
wilayah itu selama hampir satu pekan. Kecaman demi kecaman memang muncul
dari sejumlah negara. Tapi lagi-lagi, tak satupun yang kemudian bisa
berbuat lebih banyak untuk menindak kekejaman Israel yang tak terperi
itu. Allah swt pasti menyertaimu, wahai penduduk Gaza yang terzalimi….(islampos)
Komentar
Posting Komentar