Heboh! Ternyata Yesus Melarang Penyebaran Kristen di Indonesia

BEKASI - Insan Latif Syaukani Mokoginta, mantan Katholik yang telah lama memeluk Islam itu, kini menjadi dai dan malang melintang di jagad debat Islam-Kristen. Sudah tak terhitung banyaknya orang Kristen yang masuk Islam (muallaf) dari dakwahnya.  

Pria yang aktif di organisasi DDII ini kerap berdakwah ke berbagai daerah dengan pengetahuannya yang mendalam tentang ilmu kristologi. Ia juga cukup produktif dalam menulis, setidaknya lebih dari 20 buku hasil karyanya.

Selain itu, Insan Moginta juga sempat menghebohkan umat Krsiten dengan tantangannya atas sejumlah pertanyaan yang ia tulis dalam bukunya yang berjudul Mustahil Kristen Bisa Menjawab.

Saat ditemui di masjid Nurul Islam, Islamic Center, Bekasi, ternyata pak Insan -sapaan akrabnya- menyampaikan pernyataan yang begitu mencengangkan jika umat Kristen mendengarnya.

Menurutnya, di dalam injil ternyata sejak awal Yesus Kristus telah melarang penyebaran agama Kristen ke Indonesia. Ketika ditanya dasar argumentasinya, ia pun mengemukakannya dengan mengutip ayat-ayat injil.

“Itu ada di Kisah Para Rasul pasal 16 ayat 6 dan 7; Mereka melintasi tanah Frigia dan tanah Galatia, karena Roh Kudus mencegah mereka untuk memberitakan Injil di Asia. Dan setibanya di Misia mereka mencoba masuk ke daerah Bitinia, tetapi Roh Yesus tidak mengizinkan mereka,” ujarnya kepada voa-islam.com, Ahad (30/12/2012).

Menurut Insan, ayat itu mengisahkan Paulus yang dilarang oleh Yesus saat menyebarkan injil di Asia. "Jadi ketika Paulus menyebarkan Injil ke pulau-pulau lain Roh Yesus itu mencegah untuk menyebarkannya di Asia,” jelasnya.

Ia kemudian menegaskan, negara Indonesia termasuk bagian dari benua Asia, jika Yesus melarang penyeberan injil di Asia berarti Indonesia termasuk di dalamnya.

“Ini kan satu bukti, berarti Indonesia termasuk salah satu wilayah yang dilarang oleh Yesus, karena Indonesia termasuk Asia kan? Memang tidak tertulis Indonesia, tetapi kan dilarang oleh Yesus menyebarkan Injil di Asia,” pungkasnya. [Ahmed Widad]

Komentar